Sabtu, 16 Mei 2015

Cerita Pendek ~Diary Hati



            “Andai bencana kelam waktu itu tidak hadir tentu kau masih ada disini, bersamaku dan bersama buah hati kita. Aku sungguh merindukanmu, merindukan indahnya bersamamu kala itu, hingga akhirnya sebelum ajal menjemput kematianmu di depan mataku” kata hati Risa di depan bingkai foto suaminya yang kini telah tiada dengan mencoba menahan untaian air mata yang secara perlahan telah sampai di penghujung dagunya.
****
Malam itu mungkin tidak akan penah disangka oleh Risa akan menjadi malam yang sangat kelam dalam hidupnya. Dimana ia harus mengikhlaskan kepergian orang yang sangat ia cintai. Ia harus rela menahan semua perasaan perih menyayat hati ketika bencana kelam itu terjadi tepat di depan bola mata indahnya.
Yaa, pada malam itu mereka tengah asik menikmati indahnya malam di taman tak jauh dari kawasan rumah mereka, dengan sorotan lampu jalan dan dengan di temani bintang-bintang, juga bulan yang menjadi saksi bisu peristiwa naas tersebut.
“Malam ini sungguh indah” Saif membuka awal pembicaraan, dengan mata yang memancar fokus pada langit.
“Sungguh indah. Liat bintang itu begitu cerah diantara bintang-bintang yang lain” jawab Risa dengan menatapi dan menunjuk bintang yang dimaksudnya.
“Aku ingin menjadi bintang itu Risa, bintang yang selalu cerah di hadapanmu, bintang yang selalu menghiasi hari-harimu, bintang yang selalu menjadi motivasi hidupmu dan bintang yang selalu siap menerima beban-bebanmu. Aku ingin hidup lebih lama lagi denganmu, karena aku mencintaimu tanpa sebuah alasan. Aku mencintaimu karna Allah” jawab Saif dan tiba-tiba ia menatap dalam mata Risa seakan mata mereka saling berbicara satu sama lain lalu Saif menggenggam erat tangan Risa.
“Saif dengarkan aku, tanpa kamu mengucapkan itupun, kamu udah jadi bintang untukku. Bintang yang membuat dunia gelapku menjadi terang dan indah akan sinarmu” rintihan suara Risa membuat air matanya tak terbendung hingga air matanya menetes menyelimuti wajah cantiknya.
“Lantas, jika ini merupakan malam terakhirku bersamamu, akankah kau akan mencari penggantiku ?” tanya Saif dengan tatapan mata penuh dengan kaca-kaca.
“Stop Saif, kamu bicara apa. Kita akan hidup lebih lama lagi.” Jawab Risa dengan nada suara yang cukup tinggi.
“Risa kamu dengerin aku, kita akan hidup selamanya. Namun kamu sadarkan bahwa pada akhirnya kita juga akan perpisah dan gak ada yang tau kapan itu terjadi. Aku mencintaimu” Jawab Saif sambil terus menggenggam erat tangan Risa.
Seketika dua insan itu terdiam cukup lama. Bayangan-bayangan kosong menghampiri mereka, hingga mereka sadar mereka harus kembali ke rumah untuk bercengkrama dengan buah hati mereka, Safa.  Ketika mereka akan melangkahkan kaki menuju rumah mereka terdengar seperti suara dentuman keras yang berasal dari kawasan rumah mereka.
Sontak, mata mereka terbelalak melihat api telah berkobar-kobar pada jarak yang cukup jauh dari posis mereka berdiri. Mereka berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan Safa yang pada saat itu sedang tidur dirumah bersama baby sitternya. Saif berlari mendahului Risa dan melarang Risa untuk ikut dengannya, ia berlari tanpa memperdulikan keadaan api yang terus berjalar ke semua sisi ruangan, dalam gelapnya malam dan hanya penyinaran cahaya api yang membantunya menyelamatkan Safa, hingga akhirnya ia keluar dari rumah tersebut dan membawa Safa ke pelukan Risa. Namun apa daya Tuhan berkehendak lain, Ia mengambil Saif dari sisi Risa. Seketika seakan dunia ikut merasakan kepedihan hati Risa, tiba-tiba hujan deras melanda dengan riuhnya pemadam kebakaran yang mencoba memadamkan api juga riuhnya ambulance yang siap untuk membawa Saif menuju unit gawat darurat.
Risa hanya terdiam kaku, mencoba tegar di balik bencana kelam yang menimpanya. Safa yang hanya bersandar di dalam pelukan sang ibu seakan tau dengan semua peristiwa ini, ia menangis sekencang kencangnya. Risa yang terus tegar dan mencoba mengikhlaskan apapun yang terjadi hari itu. Risa yakin dan percaya bahwa cinta mereka tetap abadi, meski Saif telah pergi dan tak untuk kembali lagi kepadanya.
           
             








MENULIS CERPEN
“DIARY HATI”

DISUSUN
O
L
E
H

WULAN SARI PUSPITA NINGRUM
KELAS XI MIA 2
SMA N 2 KOTA JAMBI
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Cerita Pendek ~Syarah


SYARAH
            “semenjak Ayah meninggal, nggak tau kenapa Bunda berubah, ia lebih sering sibuk dengan pekerjaannnya daripada denganku. Di rumah aku merasa sepi, andai Bunda seperti dulu lagi yang selalu ada waktu buat aku. Hmmmm.... tapi semua berubah” tiba-tiba tetes air mata berlinang di pipinya.
            Yaa, Syarah merupakan anak yatim yang pintar. Semenjak kepergian ayahnya, ia merasa sepi sebab bunda yang biasa di sampingnya, kini harus menjadi tulang punggung keluarga, kehidupan ekonomi mereka jadi menurun, hanya sebuah rumah dan peusahaanlah yang menjadi warisan almarhum.
             Terkadang ia menanyakan hal ini dengan Bundanya, namun Bunda hanya diam dan bergegas pergi seakan sedang menyembunyikan sesuatu.
            “Syarah, Bunda pulang!”, suara lembut dari Bunda yang sangat Syarah nantikan.
            “Iya Bunda, bentar”, teriak Syarah yang langsung bangkit dari tempat tidurnya, tidak sengaja tanggannya terkenan goresan kayu lemari, berdarah namun dengan sigap ia meraih tisuue di atas lemari tersebut, dan langsung menghampiri Bundanya.
            “Syarah, tangan kamu kenapa, Nak ?”, tanya Bunda yang penuh rasa ingin tau.
            “e...e...e...enggak ada apa-apa Bun, tadi habis kena tinta spidol aja, trus Intan bersihin deh, Bun Syarah tinggal dulu ya, Syarah mau belajar lagi” seketika langsung lari dan dengan cepat mengunci pintu.
            “Aduhhh perihh banget, untung darahnya udah lumayan berhenti, kalo enggak bisa gawat”, dengan kepanikan yang terus mengganggu pikirannya.
            Karena kelelahan ia tertidur dengan keadaan  tissue yang membungkus tangan kirinya, hingga harus kesiangan pada pukul 06.10, untung ada kicauan burung yang dapat membangunkannya. Melihat jam, dan segera beranjak dari tempat tidurnya, hingga harus lupa menyiapkan daftar pelajaran di hari ini. Terbawalah olehnya buku pelajaran kemarin. Tepat ia masuk bel berbunyi pertanda jam pelajaran akan segera di mulai.
            “tumben banget Rah, lama datangnya. Biasanya kan kamu paling cepet”, sapa Bella teman sebangkunya sekaligus sahabat sejak SD.
            “iya ni bel kesiangan “, jawab singkat Syarah dan langsung meraih tasnya untuk mengambil buku pelajaran B.Indonesia.
            Tidak sengaja ketika Bella mengambil pena di meja Syarah, mata penanya menyenggol tangan kiri Syarah. Dan langsung mengeluarkan darah kembali.
            “aduhhh Bel, hati-hati dong, sakit bnget ni”, cetus Syarah
            “sorry Rah, tadi nggak sengaja. Memangnya ni luka kena apaan sih ?” wajah penasaran yang langsung ada di wajah Bella.
            “ Kemarin kena senggol ujung meja yang runcing Bel, kemarin sih udah nggak berdarah lagi, tapi kok sekarang jadi gini, berdarah lagi dan aku merasa kalau lukaku parah”, jelas Syarah.
            “Husssst nggak boleh gitu, biasanya sih luka gituan cuman 3 hari udah sembuh kok, maaf ya bneran aku tadi nggak sengaja Rah”, Jawab Bella.
            Tidak terasa jam pelajaraan telah usai, kini tibalah bel berbunyi, seketika kelas kosong. Hanya tersisa Syarah dan Bella. Mereka mempunyai kebiasaan yang sama, jika sudah bel pulang di bunyikan, mereka berdua tetap tinggal di kelas, sambil menunggu jemputan, dan mengulang-ulang kembali pelajaran yang telah di berikan oleh guru. Di pertengahan pembahasan soal, Syarah mengeluh kembali tentang luka yang ada di tangan kirinya.
            “Bel, tangan aku kok perih banget ya, padahal kalo aku pikir-pikir sih nggak begitu parah, tapi bukannya malah tambah sehat, ehh malah makin bonyok gini” menunjukkan lukanya.
            “hmmmm, kalo aku rasa sih Rah, tu luka hanya bentaran doang. Udah deh pikir positif aja dulu, jangan pikir negatif-negatif, entar takutnya hal yang tidak di inginkan terjadi. Kita bahas soal lagi aja”, walau sebenarnya Bella juga udah merasa ganjal, kok luka kecil menjadi bonyok seperti itu, tapi mencoba meyakinkan sahabatnya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
            “syarah ?” panggil Bunda dari depan pintu kelas.
            “Bunda, udah datang, dari tadi ya Bunda ?” jawab Syarah.
            “Nggak kok Nak, ni juga baru sampai” jawab Bunda
            “Tante.....” sapa Bella kepada Bunda Syarah sambil menyalami dan menebarkan senyumnya.
            “ehhh Bella, belum di jemput bel ?” tanya Bunda Syarah
            “Memang enggak di jemput tante, Mama lagi pergi ke Bandung ada survey te, jadinya Bella
cuman mau nemenin Syarah aja” jawab Bella
           
            “Oh gitu, gimana kalo kita ke taman bunga aja ?” tanya Bunda
           
            “Ayo Bun, Syarah setuju. Memangnya Bunda nggak bawa mobil ya ?”
           
            “ Iya te, Bella juga setuju kok” jawab Bella penuh semangat

            “Sengaja tadi Bunda nggak bawa mobil supaya kita bisa ke taman bunga, ya udah ayo kita
berangkat sekarang” ajak Bunda

Akhirnya mereka bertiga mengunjungi taman bunga yang sangat indah di pedesaan kecil. Syarah sangat suka bermain kesana. Terakhir ia kesana bersama Almarhum Ayahnya. Mereka mencari tempat duduk yang terdapat pemandangan bagus di dekatnya. Setelah berputar-putar cukup lama, akhirnya mereka menemukannya.
“pemandangannya indah ya Rah, baru kali ini aku ke tempat yang seperti ini” menunjukkan sikap kekagumannya terhadap suasana sekitar.
“hmmm, iya Bel. Pemandangannya indah, udaranya sejuk. Mungkinkah esok aku akan kembali ?” jawabnya.
Bunda daritadi tidak juga berbicara, ia hanya melihat-lihat pemandangan sekitar. Lalu, Syarah berdiri dan memetik setangkai bunga mawar dan di berikannya kepada Bunda.
“ini untuk Bunda, maafin Syarah ya Bun. Selama ini sebenarnya Syarah suka berpikir kalo Bunda tu jahat. Syarah sayang Bunda” sambil tersenyum dan meraih tangan kanan Bunda dan meletakkan mawarnya.
“iya Nak, maafin Bunda juga selama ini Bunda sering ninggalin kamu, dan baru kali ini Bunda bisa bawa kamu kesini lagi” menahan haru
Bella hanya bisa meratapi dan menahan air matanya keluar. Sebab seketika itu juga ia teringat akan Mamanya, yang kini sedang sibuk ke Bandung. Setelah itu tanpa sengaja Bunda menyentuh tangan kiri Syarah, dan melihat apa yang di pegangnya.
“ini kena apa, Nak ?” tanya Bunda penasaran
“itu tante, kena ujung lemari” dengan cepat Bella menjawab, karena ia yakin jika jawaban Syarah merupakan jawaban bohong. Bella tidak ingin luka di tangan Syarah itu tambah bonyok. Ia sangat sayang dengan sahabatnya itu.
Seketika Syarah berdiri untuk mengalihkan pandang terhadap Bunda.
“kok sampe begitu lukanya ya, mengapa kamu enggak jujur sama Bunda Rah ?” penuh dengan penasaran akan luka tersebut.
“maafin Syarah Bun, sebenarnya di samping luka ini juga, Syarah sering pusing. Syarah juga bingung mau gimana Bun. Kalo Syarah ceritain ke Bunda, nanti justru menyusahkan Bunda” jawab Syarah menuju ke hadapan Bunda penuh dengan rasa kesalahan.
Tak lama kemudian tubuh Syarah melemah dan akhirnya terjatuh di hadapan Bundanya. Panik seketika muncul, Bella bingung harus gimana, Bunda udah menangis.
“Nak, kamu kenapa Nak ? Bangun sayang” teriak Bunda
“Rah, Syarah bangun. Kasihan Bundamu Rah” air mata bela jatuh
Dengan langkah cepat Bunda dan Bela membawa Syarah ke rumah sakit terdekat meminta bantuan pengunjung lain untuk membawa Syarah, dengan perasaan yang bercampur. Ketika sampai di rumah sakit, Bunda langsung memanggil perawat.
“suster, suster cepat tolong anak saya” teriak Bunda sambil terus memegangi tangan Syarah
Tak lama kemudian dokter langsung memeriksa keadaan Syarah. Bunda dan Bela menunggu di depan ruangan sambil mondar-mandir menangis. Mengkhawatirkan Syarah, sosok yang baik, ramah, santun, dan pintar. Akhirnya dokter pun keluar
“Anda ibu Syarah ?” tanya dokter
“Iya Dok, apa yang terjadi dengan anak saya ?” jawab Bunda
“Mari Bu ikut saya ke ruangan, saya ingin memberitahu tentang penyakit putri anda” jawab dokter dengan serius.
Bunda dan Dokter menuju ruangan dengan penuh rasa penasaran. Setelah sampai di ruangan, Bunda di persilakan duduk.
“silakan duduk Bu. Gini, sebenarnya putri Ibu mempunyai penyakit diabetes yaa mungkin karena faktor keturunan. Hal ini terlihat dari luka yang ada di tangannya. Serta pemeriksaan yang menunjukkan kadar gula darah yang tinggi, jadi hal ini perlu ibu perhatikan. Sebab diabetes bukan penyakit biasa Bu. Tolong jaga pola makan putri anda” perkataan Dokter yang bijaksana membuat dugaan Bunda selama ini benar-benar terjadi kepada putrinya.
“Dok, lakukan apa saja untuk putri saya” jawab Bunda
“ Siap Bu, pasti saya akan melakukan hal yang terbaik untuk putri anda” jawab singkat dokter
Setelah Bunda berbicara ke dokter, Bunda langsung menuju ruangan Syarah di rawat. Terlihat dari depan pintu ada Bela yang setia menemani sahabatnya terbaring di rumah sakit.
“Bel, aku di mana?” tanya Syarah.
“Syarah ? Alhamdulillah  kamu udah sadar. Kasihan Bunda kamu Rah” jawab Bela
“Bunda mana Bel ?” wajah penasaran
“Bunda di sini sayang” menampilkan senyum kepada putrinya.
Karena udah malam, Bela berpamitan dengan Bunda dan Syarah. Kebetulan sopirnya juga udah menunggunya di parkiran.
“Tante, Syarah, Bela pulang dulu ya, udah malam. Besok Insyaallah Bela kesini lagi, cepat sembuh ya Rah, aku pingin kita main lagi di kelas” tampilan senyum Bela
“Iya Bel, makasih ya udah mau jagain Syarah” jawab Bunda.
Keesokan harinya tepat hari minggu, Bela mendengar kabar bahwa Syarah udah pulang dari rumah sakit. Ketika mendengar kabar itu, langsung Bela menuju rumah Syarah di antar oleh sopir pribadinya. Ketika memasuki rumah Syarah
“Assalamualaikum” sapa Bela
“Waalaikumsalam, eh Bela masuk yuk. Tuh udah di tungguin sama Syarah. Langsung aja ke kamarnya ya” Jawab Bunda
“Iya te” menampilkan senyum apa adanya
Ketika memasuki kamar Syarah. Betapa terkejutnya Bela melihat Syarah yang sedang mengisi LKS sambil terbaring.
“Rah, udah dong belajarnya. Kamu tu masih dalam pemulihan Rah. Kok udah belajar sih” kata Bela dengan nada lembut.
“Enggak mau ah Bel, aku mau menyelesaikan semua LKS. Soalnya kan bentar lgi udah UN. Jadi kalo nggk banyak-banyak belajar. Aku bisa nggak lulus. Malu akunya” jawab menolak dan matanya tetap menuju ke buku
“hmmm, terserah kamu aja deh Rah. Eh gimana luka kamu kemarin ?” tanya Bela
“Tambah bonyok Bel, aku rasa pasti ada sesuatu. Kamu bawa laptop nggak ?” tanyanya penuh penasaran tentang penyakit yang di deritanya.
“Aku selalu bawa laptop Rah, nih laptopnya. Memangnya untuk apa ?” menyodorkan laptop ke tangan Syarah.
“Ahhhhh kepo. Lihat aja deh” ketawa.
“Ihh kamu ni, meski sakit tapi sifat ngeselinnya nggak hilang-hilang juga ya. Syarah, Syarah”
Bela melihatnya browsing mencari nama penyakit yang Syarah derita melalui gejala-gejalanya. Ketika menemukannya
“Diabetes.......... Umurku udah enggak lama lagi Bel” kata-kata yang terlontar membuat Bela menangis.
“Enggak Rah, hidupmu masih panjang. Yakinlah dengan apa yang aku katakan” jawabku tersedu-sedu.
Seketika kedua sahabat tersebut saling berpelukan, dan Bunda pun memasuki kamar Syarah untuk mengantarkan minuman kepada Bela.
“Ngapa kalian berdua nangis ?” tanya Bunda
“Eh nggak Bun, kami hanya latihan drama untuk pementasan UAS” jawaban bohong dari Syarah merasa Bela gelisah.
“Oh ya udah selamat latihan aja ya. Syarah jangan belajar dulu ya. Kalo bergurau dengan Bela Bunda izinin” jawab Bunda
“Enggak apa-apa kok Bun. Biar selesai semua LKSnya” jelas Syarah.
Mereka bergurau, bercanda berdua. Bela merasakan keperihan Syarah, tapi ia coba menutupinya. Ia tidak ingin sahabatnya sedih. Jam telah menunjukkan pukul 13.00 saatnya Bela berpamitan karena ia ada janji dengan Mamanya yang baru pulang dari Bandung untuk ke toko buku.
“Aku pulang dulu ya Rah, tolong kasih tau Bunda kamu. Kayaknya Bunda kamu lagi keluar sebentar” tersenyum
“Iya, hati-hati ya. Oh ya besok aku tunggu kamu di kelas yaaa” jawabnya
“Oke, sampe ketemu besok yaaaa”
Di halaman rumah ada Bunda yang sedang mengobrol dengan Mama Bela.
“Tante Bela pamit dulu ya” sapaku
“Iya bel. Makasih banyak ya udah mau menghibur Syarah”
“Sama-sama tante” senyum
Ketika Bela pulang, Bunda memasuki kamar Syarah melihat keadaan Syarah yang tidak sadar dan memegang punggungnya yang sangat panas. Bunda sangat panik. Dengan cepat ia mengeluarkan mobil dan membawanya dengan laju kencang. Hingga sampai di rumah sakit
“Dok tolong anak saya tidak sadarkan diri lagi” isak tangis Bunda
“Iya Bu, kami akan bawa Syarah ke ICU, Ibu harap mengunggu” perintah Dokter
Sambil menunggu Bunda selalu berdo’a kepada Allah SWT agar Syarah dapat sadar kembali, tetapi ketika Dokter keluar
“Dokter gimana Putri saya. Lakukan hal yang terbaik” perintah Bunda dengan isak tangisnya
“Maaf Bu, Allah SWT berkehendak lain, Syarah telah tiada” dengan wajah sesal
Tak lama Bela dan Mamanya kembali menampilkan wajah mereka di hadapan Bunda. Mereka menangis menantikan datangnya Syarah dalam keadaan tubuh yang pucat dan kaku

*** END ***


Cerita Pendek ~Gerbang Rintihan Lika


Gerbang Rintihan Lika

            Pukul telah menunjukkan 02.30 namun Lika belum dapat memejamkan matanya. Ia masih memikirkan kedua orang tuanya, mamanya yang sibuk dengan karir perusahaan dan papanya yang hampir tak pernah pulang untuk menemuinya karena banyaknya pertemuan yang harus ia hadiri, membuatnya lupa jika ia masih memiliki keluarga.
            “selamat malam putri cantik papa, have nice dream yaa” pesan dari papa yang setiap hari ia kirim pada pukul 21.00
            “uhhh selalu begini, aku udah bosan dengan cara seperti ini, yang aku minta papa pulang”celotehnya dalam hati.
            “gini nih akibat kedua orang tua yang hanya memikirkan pekerjaan, uang, uang, dan uang yang hanya mereka pikirkan. Aku tak butuh uang, aku hanya butuh kebahagiaan bersama mama dan papa, uhhhh” keluhnya.
            “kriiiinggggg” alarm pun berbunyi menunjukkan pukul 06.00, dan Lika pun masih terbaring dengan nyenyaknya. Perempuan dengan paras cantik, rambut hitam, panjang yang mengurainya di tepian bantal. Handphone wanita cantik ini berbunyi pertanda telepon dari mama
            “aaappaa ma ?” dengan jawaban terbata-terbata ia mencoba membuka mata bening nan indahnya tersebut
            “sayang, udah siap-siap mau sekolah ya, nanti pulangnya mama jemput ya, mama tunggu di depan gerbang” suara mama yang selama ini hampir punah di telinganya, membuat ia bangkit dari tidurnya
            “mamaaaaa........ mama kemana aja ?Lika kangen mama. Iyaa nanti ketika pulang Lika langsung ke gerbang” tersenyum gembira dan ia pun langsung menutup telepon dari mamanya dan segera mandi serta bersiap-siap sekolah dengan perasaan yang sangat gembira.
            “Wah non, udah rapi nih, mari non sarapan dulu” sapa bibi, yang selalu ada buatnya ketika kedua orang tuanya pergi sibuk dengan urusannya.
            “hehehe iya bi. Emm, oh iya bi, nanti tolong kasih tau paman, Lika pulangnya dijemput sama mama” jawab Lika dengan menguntai senyum indah pancaran dari bibir merahnya
            Ketika sampai disekolah, Lika segera memasuki kelasnya yang berada cukup jauh dari aula depan, di sepanjang jalan Lika selalu menguntai senyum indah dan pancaran mata beningnya, sehingga tak heran jika ia memiliki banyak teman.
Apalagi Lika merupakan seorang gadis yang sering mendapatkan juara umum, tak hanya paras nan cantik, namun ia memiliki potensi tinggi untuk prestasi.
            “hay Sinta, gua mau cerita nih”, ia menyapa teman sebangkunya sambil meletakkan tas punggung miliknya diatas meja.
            “cerita apa ? baik atau buruk ni cerita ?” tanya Sinta dengan nada dan raut wajah yang penasaran.
            “hidihh, sepertinya mau banget ni denger cerita Lika. Emm, Lika mau cerita nih kalo nanti pulang, Lika di jemput mama. Akhirnya mama kangen juga sama Lika” dengan raut gembira dan ia memancarkan senyum merona di bibirnya, juga matanya berkaca-kaca.
            Wajar saja jika ia sedih karena sikap kedua orang tuanya, Lika merupakan wanita yang sedang beranjak dewasa dengan umur 15 tahun. Tentu sangat butuh pendamping seperti seorang mama.
            “loh, bagus dong. Syukur deh kalo gitu Ka. Oh iya, Kamu udah nggak PR Bahasa Indonesia yang mengarang itu ?” Sinta mencoba alihkan pembicaraan, iya tidak mau sahabat karibnya itu cerita banyak tentang kedua orang tuanya. Karena Lika hampir di setiap harinya meneteskan air mata hanya untuk kedua orang tuanya.
            “udah dong pastinya”, jawab Lika sambil mengusap air matanya, dan mencoba kembali ceria serta mencoba menutupi kesedihannya
            Tidak lama mereka berbicara, bel berbunyi tanda masuk telah berdering.
            “kriiiiinnggggg”
            Mata pelajaran jam pertama pun di mulai, dengan pelajaran Bahasa Indonesia, dan guru bidang studi Bu Rita telah memasuki kelas.
            “pagi anak-anak, baiklah hari ini ibu akan menjelaskan tentang perbedaan grafik, kurva, dan tabel. Dalam ibu menerangkan, Ibu harap kalian dapat memperhatikan dengan saksama, karena nanti Ibu akan memberi pertanyaan dari masing-masing kalian. Mengerti ?” Tanya Bu Rita.
            “mengerti Bu”. Jawab semua murid, kecuali Lika.
            Lika sibuk melamun, dan membayangkan bagaimana nanti ketika ia bertemu dengan mamanya.
            “Lika, coba jelaskan kembali apa itu tabel ?”, tanya Bu Rita dengan tegas dan memperlihatkan aura marah pada wajahnya.
            “eeeee......” jawab Lika dengan penuh kebingungan dan ketakutan
            “apa ? jawab dengan tegas”, perintah Bu Rita
            Lika hanya bisa terdiam dan menyesali perbuatannya. Dengan pandangan semua murid di kelas itu tertuju kepadanya, membuat ia semakin malu.
            “Kamu kenapa Lika ? akhir-akhir ini, Ibu perhatikan kamu sering melamun. Dulu kamu selalu aktif, sekarang kenapa ? hampir seluruh nilai keaktifan kamu di buku nilai Ibu tidak ada”, tanya bu Rita dengan penuh kekesalan.
            Lika hanya dapat menunduk, dan mencoba tenang dengan semua yang ia hadapi di saat itu.
            Ketika istirahat, ia langsung berlari menuju keluar. Dan duduk di dekat taman, sambil mengingat amarah Bu Rita yang sebelumnya ia tak pernah mendapatkan amarah tersebut. Baginya amarah seorang guru, bagaikan pisau yang sangat tajam
            “hay Lika, kamu kenapa sendirian disini ?”, sapa seseorang wanita yang ia tak kenal sebelumnya.
            “hemmm, kamu siapa ?”, mencoba menutupi perasaannya dengan tatapan bingung
            “oh iya, aku Vira. Siswi kelas XIPA3. Aku ingin sekali dapat berteman denganmu” menorehkan senyum tipis di bibirnya.
            Dengan tatapan yang masih sangat bingung Lika mencoba tersenyum kecil di bibirnya “boleh kok” jawabnya dengan singkat.
            Mereka pun akhirnya mulai berangsur-angsur akrab ketika istirahat itu, dan Lika pun sepertinya sangat yakin ada tujuan dan maksud tertentu Vira mendekatinya. Tak terasa bel istirahat pun telah berakhir, dan merekapun berpisah kelas. Lika menuju XIPA2 dan Vira pun menuju XIPA3.
            Ketika bell pulang, Lika langsung menuju pintu gerbang sekolah tanpa memikirkan Sinta yang memanggilnya. Ia berdiri sambil merogoh kantong bajunya untuk meraih handphone genggamnya. Dan ketika ia buka, ternyata udah ada pesan dan telepon dari mama. Ia buka pesannya, seketika itu raut wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca. Ia baca perlahan-lahan pesan tersebut
            “Lika maafin mama ya sayang, sepertinya hari ini mama gak bisa jemput kamu. Mama harus keluar kota karna ada meeting mendadak. Maaf ya  sayang” pesan mama
            Tanpa ada kata-kata lagi ia langsung menyender lemas di pagar tersebut, tanpa mementingkan orang lain yang jalan di depannya. Dengan penuh tatapan kosong, ia mencoba menenangkan dirinya
            Tak lama, ia bersender Vira datang menghampirinya
            “Lika, kamu kenapa ? kok masih disini ?” tanya Vira dengan raut wajah polosnya
            “emmm, Lika nungguin mama, tapi mama gak jadi jemput” tetes demi tetes air matanya menyelimuti pipinya, ia tak dapat menahan rasa kesal bercampur kecewa terhadap mamanya. Ia pun bersender di bahu Vira.
            “Udah Lika, kamu yang sabar. Mungkin mama kamu ada keperluan mendadak di kantornya. Gimana kalo kamu ikut aku saja ?” tanya Vira, dengan mencoba menenangi teman barunya tersebut
            “mama dan papa Lika hampir gak pernah pulang ke rumah Ra, mereka sibuk dengan pekerjaan mereka. Lika bosan Ra, Lika kangen mereka yang dulu. Kita mau kemana ?” mencoba tegar dan perlahan-lahan mulai mengangkat kepalanya dari bahu Vira.
            “jangan begitu kamu Lik, mereka mencari uang kan untuk sekolah kamu. Ke rumah aku, mau nggak ?” jawab Lika
            “ke rumah mu ? oke, Lika juga gak punya temen main di rumah. Bentar Lika kasih tau bibi dulu. Biar nanti mereka gak nyariin Lika” menoreh senyumnya dan seakan-akan telah lupa dengan kejadian yang barusan ia hadapi
            Ketika sampai rumah Vira, betapa terkejutnya Lika melihat rumah yang begitu sederhana dan ada warteg di aula depan. Serta berdiri pula wanita paruh baya yang sepertinya telah menunggu kami dari tadi dengan raut wajah yang begitu khawatir
            “alhamdulillah kamu udah sampai, Nak. Ajak masuk sana temennya” sapa wanita tersebut dengan penuh keramahan dan etika yang baik
            “iya bu, Vira masuk dulu ya” jawab vira.
            Ketika mereka memasuki ruang tamu, Lika dan Vira segera duduk di sofa sambil meletakkan tas punggung miliknya, beristirahat sejenak dengan keadaan tubuh sedikit bersender di kepala sofa.
            “bentar ya Lika, aku ambilkan minum dulu” suara Vira yang memecahkan keheningan saat itu, membuat Lika terkejut.
            “oh iya-iya, terima kasih Vira” jawabnya dengan suara terbata-bata
            Ia pun tinggal sendiri di ruang tamu itu, ia mencoba berdiri dan melihat foto-foto pajangan yang ada di rumah Vira, ia melihat foto Vira bersama keluarganya. Seketika itu ia mulai meneteskan air mata lagi sambil bicara
            “andaikan aku begini, pasti hidupku sangat bahagia. Diberi perhatian dan kasih sayang dengan mama. Tapi sayangnya hanya mimpi bagiku”  terdengar begitu miris suaranya
            Ketika Lika sedang asik dan terpaku pada foto tersebut, Ibu Vira datang dan menyapanya
            “kamu Lika kan ?” tanya wanita separuh baya tersebut dengan wajah datar
            “emm, iya tante”, menorehkan senyum indahnya kepada perempuan separuh baya tersebut
            “oh iya, kamu udah izin belum sama orang tuamu kalo kamu main kesini ?” tanya wanita tersebut dengan penuh kelembutan
            “percuma tente, Lika beri tau mereka. Mereka juga gak ada peduli dengan kehidupan Lika. Mau Lika matipun mungkin mereka hanya sibuk dengan karir yang dapat menghasilkan uang, uang, dan uang”, jawab Lika dengan penuh amarah dan airmata yang tak terbendung lagi
            “husstt, jangan begitu Lika, bagaimanapun mereka adalah orang tua mu. Orang tua yang telah membesarkan mu. Tak ada satupun di dunia ini orang tua yang tidak peduli terhadap anaknya. Mereka mencari uang juga untuk kamu, untuk pendidikan dan kebutuhan kamu lainnya” jawaban wanita separuh baya ini begitu lembut dengan untaian tanggannya memeluk Lika dengan penuh kehangatan
            Lika merasa tenang dan bahagia ketika di peluk dengan wanita paruh baya tersebut. Tak lama, Vira pun datang membawa secangkir es sirup. Dan meletakkannya tepat di depan Lika. Mereka berbincang-bincang hingga sore hari dan tepat pukul 17.00 Lika udah ditunggu pamannya di halaman Vira. Ia pun berpamitan dan segera menuju ke mobil mewahnya.
            Ketika ia sampai di rumah, ia melihat mamanya telah ada. Namun Lika tetap saja kecewa karna terlihat di pangkuan mama ada laptopnya seakan-akan laptop tersebut menjadi penghalang untuk mama menyayanginya.
            “Lika, kamu udah pulang ?” tanya mama dengan pandangan terus menuju ke monitor laptop.
            Lika segera pergi mengabaikan pertanyaan mama menuju ke kamarnya. Sesampai ia di kamar, ia duduk di depan meja riasnya dan berkata
            “haruskah begini nasibku ? aku mempunyai orang tua yang lengkap namun salah satu dari mereka pun sama sekali lupa akan aku. Aku capek begini terus Ya Allah”, rintihnya sambil terus memandangi raut wajahnya yang kusut dan diselimuti air mata didepan cermin
            Keesokan harinya, tepat hari minggu. Hari dimana semua orang menikmatinya, karna tidak ada jam kantor, maupun sekolah. Tapi tidak pada Lika, yang justru hari buruk baginya. Ia mencoba tegar dan tenang menghadapi semua yang terjadi pada keluarganya. Di pagi hari yang cerah, ia mencoba menutupi kejadian kemarin dan mencoba membuka lembaran baru dengan senyuman indah yang selalu menghiasi wajahnya
            “Pagi non, mari sarapan” sapa Bibi di setiap pagi harinya
            “makasih bi, tapi Lika mau langsung ke rumah Vira”jawab Lika dengan senyumannya
            “eh non, tapi udah ada ibu di meja makan nungguin non”, jawab bibi dengan wajah bingung
            “udah lah bi, Lika keluar lewat pintu belakang. Lika gak mau ketemu mama” jawab ketus Lika
            Ketika ia keluar rumah , ia langsung menuju ke jalan raya dan mencari angkutan umum untuk mengantarnya ke rumah Vira yang bagaikan surga. Penuh dengan perhatian dan kasih sayang seorang ibu yang hampir punah dalam kehidupannya.
            Di perjalanannya, Handphone Lika selalu berdering pertanda mama yang sedang meneleponnya. Namun Lika hanya mengabaikannya. Lalu ketika untuk kesekian kalinya mama meneleponnya, barulah ia angkat
            “kenapa ?” tanya lika dengan suara yang datar
            “Kamu kemana sayang ? ada papa disini nungguin kamu. Cepat pulang ya sayang” suara lembut keibuan seperti baru kali ini dirasakan oleh Lika.
            “enggak ma, Lika mau ke tempat yang buat Lika nyaman” jawabnya dengan singkat
            “tapi kamu kemana ?” tanya mama dengan nada yang seakan-akan mengkhawatirkan dirinya. Lalu Lika menjawab
            “mama gak perlu tau Lika mau kemana dan dimana. Mama juga kan udah nggak peduliin Lika. Mama urusin aja tuh perusahaan mama” jawab ketus Lika
            “Lika, maksud kamu apa ? sopan sedikit dong bicaranya” suara mama yang mulai marah dengan perkataan Lika. Membuat suasana makin tegang.
            Namun, tanpa memperdulikan pembicaraan mama, ia segera memutuskan sambungan ia dengan mamanya.
            Ketika ia telah sampai rumah Vira, ia melihat dari kejauhan tampak seorang wanita baya yang sebelumnya telah ia kenal. Iya, lebih tepatnya mama Vira. Wanita tersebut sepertinya telah menunggu lama. Namun ketika Lika sudah tepat di depan halaman rumahnya, terdengar suara mobil yang mendesing dari kejauhan. Ia menoleh kebelakang secara perlahan-lahan, dan ternyata itu merupakan mobil mamanya. Betapa terkejutnya dia, dengan wajah yang memerah dan perasaan yang mulai tidak enak, membuatnya ia semakin takut dengan mamanya karna perkataan yang tadi ia ucapkan kepada mamanya.
            “Lika.........” panggilan tersebut adalah suara nyaring khas mamanya. Ia terdiam tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya.
            Setelah mama meletakkan mobilnya, ia turun dengan gaya kantoran yang biasa telah ia lakukan di setiap harinya. Lika pun semakin cemas
            “apa yang akan dilakukan mamaku ini Ya Allah ?” tanyanya dalam hati
            “Lika, ngapain kamu ke pemukiman kumuh seperti ini ?” dengan suara yang meninggi membuat tetangga sekitar berhamburan keluar. Vira hanya dapat menyaksikan dengan raut wajah sedih.
            “apa maksud mama bicara begitu ?” sentak Lika
            “Berani bentak mama kamu sekarang. Belajar dari mana kamu. Dari perempuan ini !” sambil menunjuk 2 orang wanita yang tidak lain adalah Vira dan Ibunya
            “Kamu, kamu apakan anak saya sehingga ia mau ke rumah mu ?” nada yang semakin meninggi
            “bu, kami memang miskin tapi kami punya harga diri. Udah cukup ibu hina permukiman kami, jangan ibu tuduh lagi atas pencucian otak anak ibu” Ibu Vira tidak cukup kuat menahan air mata yang telah menyelimuti pipinya.
            Lika pun tak kuat melihat ini semua, ia menggenggamkan tangannya, wajahnya pun memerah. Dengan tegas ia mengatakan
            “cukup ma, cukup..... mereka memang gak punya apa-apa tapi mereka memiliki kasih sayang yang luar biasa kepada Lika. Lika gak pernah butuh kekayaan, kemewahan dan segala fasilitas yang telah mama berikan. Lika hanya butuh kasih sayang dan perhatian mama. Cuman itu ma. Semua yang mama kasih ke Lika tidak pernah cukup untuk membayar kasih sayang mama. Karna itulah alasan Lika, Lika pergi kesini tanpa memberitahukan mama” Tegas Lika, ia pun  tak dapat menahan air matanya. Setetes demi setetes air matanya jatuh.
            Mamapun hanya dapat terpaku dan terdiam meratap ke bawah, tampak wajah penyesalan yang luar biasa dari raut wajahnya. Ia mencoba menghapus air matanya. Seketika itu juga, Lika langsung pulang dan meninggalkan mamanya yang masih berada di depan rumah Vira.
            Sesampainya di rumah, ia langsung memasuki kamarnya dan menangis, hingga ia tidak pedulikan lagi bibi dan paman yang menyapanya. Tak lama Lika sampai, mama menyusulnya dan langsung menuju ke kamar Lika.
            “Lika, maafin mama. Selama ini mama tidak pernah memberikanmu kasih sayang dan perhatian seperti yang mereka berikan” tangis mama dengan suara lembuh khas seorang keibuan.


            Lika hanya diam, tidak memberi komentar apa-apa
            “Lika, mama janji jika kamu mau maafkan mama, mama janji untuk dapat membagi waktu kepadamu” kata mama
            Tidak lama mama diam dari perkataannya, Lika pun akhirnya bicara
            “Lika sayang mama, Lika butuh mama” jawabnya dengan penuh perasaan sedih
            “Mama juga sayang kamu, Nak” memberikan senyuman dan memeluk Lika
            “Mama janji ya sama Lika gak bakal ngulangin perbuatan yang sama ?”tanyanya dengan tatapan mata penuh harapan.
            “oke, mama janji” tetap memeluk Lika dan mencium keningnya

            Semenjak kejadian pilu di halaman rumah Vira, Lika dan mamanya pun kembali bersatu dengan perjanjian mama yang dapat membagi tugas rumah dan kantornya. Kini mereka pun bahagia


END











Identitas Diri
Nama              : Wulan Sari Puspita Ningrum
Angkatan        :2013
Asal Sekolah   : SMA Negeri 2 Kota Jambi