Gerbang Rintihan Lika
Pukul
telah menunjukkan 02.30 namun Lika belum dapat memejamkan matanya. Ia masih
memikirkan kedua orang tuanya, mamanya yang sibuk dengan karir perusahaan dan
papanya yang hampir tak pernah pulang untuk menemuinya karena banyaknya
pertemuan yang harus ia hadiri, membuatnya lupa jika ia masih memiliki
keluarga.
“selamat
malam putri cantik papa, have nice dream yaa” pesan dari papa yang setiap hari
ia kirim pada pukul 21.00
“uhhh
selalu begini, aku udah bosan dengan cara seperti ini, yang aku minta papa
pulang”celotehnya dalam hati.
“gini
nih akibat kedua orang tua yang hanya memikirkan pekerjaan, uang, uang, dan
uang yang hanya mereka pikirkan. Aku tak butuh uang, aku hanya butuh kebahagiaan
bersama mama dan papa, uhhhh” keluhnya.
“kriiiinggggg”
alarm pun berbunyi menunjukkan pukul 06.00, dan Lika pun masih terbaring dengan
nyenyaknya. Perempuan dengan paras cantik, rambut hitam, panjang yang
mengurainya di tepian bantal. Handphone wanita cantik ini berbunyi pertanda
telepon dari mama
“aaappaa
ma ?” dengan jawaban terbata-terbata ia mencoba membuka mata bening nan
indahnya tersebut
“sayang,
udah siap-siap mau sekolah ya, nanti pulangnya mama jemput ya, mama tunggu di
depan gerbang” suara mama yang selama ini hampir punah di telinganya, membuat
ia bangkit dari tidurnya
“mamaaaaa........
mama kemana aja ?Lika kangen mama. Iyaa nanti ketika pulang Lika langsung ke
gerbang” tersenyum gembira dan ia pun langsung menutup telepon dari mamanya dan
segera mandi serta bersiap-siap sekolah dengan perasaan yang sangat gembira.
“Wah
non, udah rapi nih, mari non sarapan dulu” sapa bibi, yang selalu ada buatnya
ketika kedua orang tuanya pergi sibuk dengan urusannya.
“hehehe
iya bi. Emm, oh iya bi, nanti tolong kasih tau paman, Lika pulangnya dijemput
sama mama” jawab Lika dengan menguntai senyum indah pancaran dari bibir
merahnya
Ketika sampai disekolah, Lika segera
memasuki kelasnya yang berada cukup jauh dari aula depan, di sepanjang jalan
Lika selalu menguntai senyum indah dan pancaran mata beningnya, sehingga tak
heran jika ia memiliki banyak teman.
Apalagi Lika merupakan seorang gadis yang sering
mendapatkan juara umum, tak hanya paras nan cantik, namun ia memiliki potensi
tinggi untuk prestasi.
“hay
Sinta, gua mau cerita nih”, ia menyapa teman sebangkunya sambil meletakkan tas
punggung miliknya diatas meja.
“cerita
apa ? baik atau buruk ni cerita ?” tanya Sinta dengan nada dan raut wajah yang
penasaran.
“hidihh,
sepertinya mau banget ni denger cerita Lika. Emm, Lika mau cerita nih kalo
nanti pulang, Lika di jemput mama. Akhirnya mama kangen juga sama Lika” dengan
raut gembira dan ia memancarkan senyum merona di bibirnya, juga matanya
berkaca-kaca.
Wajar
saja jika ia sedih karena sikap kedua orang tuanya, Lika merupakan wanita yang sedang
beranjak dewasa dengan umur 15 tahun. Tentu sangat butuh pendamping seperti
seorang mama.
“loh,
bagus dong. Syukur deh kalo gitu Ka. Oh iya, Kamu udah nggak PR Bahasa
Indonesia yang mengarang itu ?” Sinta mencoba alihkan pembicaraan, iya tidak
mau sahabat karibnya itu cerita banyak tentang kedua orang tuanya. Karena Lika
hampir di setiap harinya meneteskan air mata hanya untuk kedua orang tuanya.
“udah
dong pastinya”, jawab Lika sambil mengusap air matanya, dan mencoba kembali
ceria serta mencoba menutupi kesedihannya
Tidak
lama mereka berbicara, bel berbunyi tanda masuk telah berdering.
“kriiiiinnggggg”
Mata
pelajaran jam pertama pun di mulai, dengan pelajaran Bahasa Indonesia, dan guru
bidang studi Bu Rita telah memasuki kelas.
“pagi
anak-anak, baiklah hari ini ibu akan menjelaskan tentang perbedaan grafik,
kurva, dan tabel. Dalam ibu menerangkan, Ibu harap kalian dapat memperhatikan
dengan saksama, karena nanti Ibu akan memberi pertanyaan dari masing-masing
kalian. Mengerti ?” Tanya Bu Rita.
“mengerti
Bu”. Jawab semua murid, kecuali Lika.
Lika
sibuk melamun, dan membayangkan bagaimana nanti ketika ia bertemu dengan
mamanya.
“Lika,
coba jelaskan kembali apa itu tabel ?”, tanya Bu Rita dengan tegas dan
memperlihatkan aura marah pada wajahnya.
“eeeee......”
jawab Lika dengan penuh kebingungan dan ketakutan
“apa
? jawab dengan tegas”, perintah Bu Rita
Lika
hanya bisa terdiam dan menyesali perbuatannya. Dengan pandangan semua murid di
kelas itu tertuju kepadanya, membuat ia semakin malu.
“Kamu kenapa Lika ? akhir-akhir ini,
Ibu perhatikan kamu sering melamun. Dulu kamu selalu aktif, sekarang kenapa ?
hampir seluruh nilai keaktifan kamu di buku nilai Ibu tidak ada”, tanya bu Rita
dengan penuh kekesalan.
Lika
hanya dapat menunduk, dan mencoba tenang dengan semua yang ia hadapi di saat
itu.
Ketika
istirahat, ia langsung berlari menuju keluar. Dan duduk di dekat taman, sambil
mengingat amarah Bu Rita yang sebelumnya ia tak pernah mendapatkan amarah
tersebut. Baginya amarah seorang guru, bagaikan pisau yang sangat tajam
“hay
Lika, kamu kenapa sendirian disini ?”, sapa seseorang wanita yang ia tak kenal
sebelumnya.
“hemmm,
kamu siapa ?”, mencoba menutupi perasaannya dengan tatapan bingung
“oh
iya, aku Vira. Siswi kelas XIPA3. Aku ingin sekali dapat berteman denganmu”
menorehkan senyum tipis di bibirnya.
Dengan
tatapan yang masih sangat bingung Lika mencoba tersenyum kecil di bibirnya
“boleh kok” jawabnya dengan singkat.
Mereka
pun akhirnya mulai berangsur-angsur akrab ketika istirahat itu, dan Lika pun
sepertinya sangat yakin ada tujuan dan maksud tertentu Vira mendekatinya. Tak
terasa bel istirahat pun telah berakhir, dan merekapun berpisah kelas. Lika
menuju XIPA2 dan Vira pun menuju XIPA3.
Ketika
bell pulang, Lika langsung menuju pintu gerbang sekolah tanpa memikirkan Sinta
yang memanggilnya. Ia berdiri sambil merogoh kantong bajunya untuk meraih
handphone genggamnya. Dan ketika ia buka, ternyata udah ada pesan dan telepon
dari mama. Ia buka pesannya, seketika itu raut wajahnya memerah, matanya
berkaca-kaca. Ia baca perlahan-lahan pesan tersebut
“Lika
maafin mama ya sayang, sepertinya hari ini mama gak bisa jemput kamu. Mama
harus keluar kota karna ada meeting mendadak. Maaf ya sayang” pesan mama
Tanpa
ada kata-kata lagi ia langsung menyender lemas di pagar tersebut, tanpa
mementingkan orang lain yang jalan di depannya. Dengan penuh tatapan kosong, ia
mencoba menenangkan dirinya
Tak
lama, ia bersender Vira datang menghampirinya
“Lika,
kamu kenapa ? kok masih disini ?” tanya Vira dengan raut wajah polosnya
“emmm, Lika nungguin mama, tapi mama
gak jadi jemput” tetes demi tetes air matanya menyelimuti pipinya, ia tak dapat
menahan rasa kesal bercampur kecewa terhadap mamanya. Ia pun bersender di bahu
Vira.
“Udah
Lika, kamu yang sabar. Mungkin mama kamu ada keperluan mendadak di kantornya.
Gimana kalo kamu ikut aku saja ?” tanya Vira, dengan mencoba menenangi teman
barunya tersebut
“mama
dan papa Lika hampir gak pernah pulang ke rumah Ra, mereka sibuk dengan
pekerjaan mereka. Lika bosan Ra, Lika kangen mereka yang dulu. Kita mau kemana
?” mencoba tegar dan perlahan-lahan mulai mengangkat kepalanya dari bahu Vira.
“jangan
begitu kamu Lik, mereka mencari uang kan untuk sekolah kamu. Ke rumah aku, mau
nggak ?” jawab Lika
“ke
rumah mu ? oke, Lika juga gak punya temen main di rumah. Bentar Lika kasih tau
bibi dulu. Biar nanti mereka gak nyariin Lika” menoreh senyumnya dan
seakan-akan telah lupa dengan kejadian yang barusan ia hadapi
Ketika
sampai rumah Vira, betapa terkejutnya Lika melihat rumah yang begitu sederhana
dan ada warteg di aula depan. Serta berdiri pula wanita paruh baya yang
sepertinya telah menunggu kami dari tadi dengan raut wajah yang begitu khawatir
“alhamdulillah
kamu udah sampai, Nak. Ajak masuk sana temennya” sapa wanita tersebut dengan
penuh keramahan dan etika yang baik
“iya
bu, Vira masuk dulu ya” jawab vira.
Ketika
mereka memasuki ruang tamu, Lika dan Vira segera duduk di sofa sambil
meletakkan tas punggung miliknya, beristirahat sejenak dengan keadaan tubuh
sedikit bersender di kepala sofa.
“bentar
ya Lika, aku ambilkan minum dulu” suara Vira yang memecahkan keheningan saat
itu, membuat Lika terkejut.
“oh
iya-iya, terima kasih Vira” jawabnya dengan suara terbata-bata
Ia
pun tinggal sendiri di ruang tamu itu, ia mencoba berdiri dan melihat foto-foto
pajangan yang ada di rumah Vira, ia melihat foto Vira bersama keluarganya.
Seketika itu ia mulai meneteskan air mata lagi sambil bicara
“andaikan
aku begini, pasti hidupku sangat bahagia. Diberi perhatian dan kasih sayang
dengan mama. Tapi sayangnya hanya mimpi bagiku”
terdengar begitu miris suaranya
Ketika
Lika sedang asik dan terpaku pada foto tersebut, Ibu Vira datang dan menyapanya
“kamu
Lika kan ?” tanya wanita separuh baya tersebut dengan wajah datar
“emm, iya tante”, menorehkan senyum
indahnya kepada perempuan separuh baya tersebut
“oh
iya, kamu udah izin belum sama orang tuamu kalo kamu main kesini ?” tanya
wanita tersebut dengan penuh kelembutan
“percuma
tente, Lika beri tau mereka. Mereka juga gak ada peduli dengan kehidupan Lika.
Mau Lika matipun mungkin mereka hanya sibuk dengan karir yang dapat
menghasilkan uang, uang, dan uang”, jawab Lika dengan penuh amarah dan airmata
yang tak terbendung lagi
“husstt,
jangan begitu Lika, bagaimanapun mereka adalah orang tua mu. Orang tua yang
telah membesarkan mu. Tak ada satupun di dunia ini orang tua yang tidak peduli
terhadap anaknya. Mereka mencari uang juga untuk kamu, untuk pendidikan dan
kebutuhan kamu lainnya” jawaban wanita separuh baya ini begitu lembut dengan
untaian tanggannya memeluk Lika dengan penuh kehangatan
Lika
merasa tenang dan bahagia ketika di peluk dengan wanita paruh baya tersebut.
Tak lama, Vira pun datang membawa secangkir es sirup. Dan meletakkannya tepat
di depan Lika. Mereka berbincang-bincang hingga sore hari dan tepat pukul 17.00
Lika udah ditunggu pamannya di halaman Vira. Ia pun berpamitan dan segera
menuju ke mobil mewahnya.
Ketika
ia sampai di rumah, ia melihat mamanya telah ada. Namun Lika tetap saja kecewa
karna terlihat di pangkuan mama ada laptopnya seakan-akan laptop tersebut
menjadi penghalang untuk mama menyayanginya.
“Lika,
kamu udah pulang ?” tanya mama dengan pandangan terus menuju ke monitor laptop.
Lika
segera pergi mengabaikan pertanyaan mama menuju ke kamarnya. Sesampai ia di
kamar, ia duduk di depan meja riasnya dan berkata
“haruskah
begini nasibku ? aku mempunyai orang tua yang lengkap namun salah satu dari
mereka pun sama sekali lupa akan aku. Aku capek begini terus Ya Allah”,
rintihnya sambil terus memandangi raut wajahnya yang kusut dan diselimuti air
mata didepan cermin
Keesokan
harinya, tepat hari minggu. Hari dimana semua orang menikmatinya, karna tidak
ada jam kantor, maupun sekolah. Tapi tidak pada Lika, yang justru hari buruk
baginya. Ia mencoba tegar dan tenang menghadapi semua yang terjadi pada
keluarganya. Di pagi hari yang cerah, ia mencoba menutupi kejadian kemarin dan
mencoba membuka lembaran baru dengan senyuman indah yang selalu menghiasi
wajahnya
“Pagi
non, mari sarapan” sapa Bibi di setiap pagi harinya
“makasih
bi, tapi Lika mau langsung ke rumah Vira”jawab Lika dengan senyumannya
“eh
non, tapi udah ada ibu di meja makan nungguin non”, jawab bibi dengan wajah
bingung
“udah
lah bi, Lika keluar lewat pintu belakang. Lika gak mau ketemu mama” jawab ketus
Lika
Ketika
ia keluar rumah , ia langsung menuju ke jalan raya dan mencari angkutan umum
untuk mengantarnya ke rumah Vira yang bagaikan surga. Penuh dengan perhatian
dan kasih sayang seorang ibu yang hampir punah dalam kehidupannya.
Di
perjalanannya, Handphone Lika selalu berdering pertanda mama yang sedang
meneleponnya. Namun Lika hanya mengabaikannya. Lalu ketika untuk kesekian
kalinya mama meneleponnya, barulah ia angkat
“kenapa
?” tanya lika dengan suara yang datar
“Kamu
kemana sayang ? ada papa disini nungguin kamu. Cepat pulang ya sayang” suara
lembut keibuan seperti baru kali ini dirasakan oleh Lika.
“enggak
ma, Lika mau ke tempat yang buat Lika nyaman” jawabnya dengan singkat
“tapi
kamu kemana ?” tanya mama dengan nada yang seakan-akan mengkhawatirkan dirinya.
Lalu Lika menjawab
“mama
gak perlu tau Lika mau kemana dan dimana. Mama juga kan udah nggak peduliin
Lika. Mama urusin aja tuh perusahaan mama” jawab ketus Lika
“Lika,
maksud kamu apa ? sopan sedikit dong bicaranya” suara mama yang mulai marah
dengan perkataan Lika. Membuat suasana makin tegang.
Namun,
tanpa memperdulikan pembicaraan mama, ia segera memutuskan sambungan ia dengan
mamanya.
Ketika
ia telah sampai rumah Vira, ia melihat dari kejauhan tampak seorang wanita baya
yang sebelumnya telah ia kenal. Iya, lebih tepatnya mama Vira. Wanita tersebut
sepertinya telah menunggu lama. Namun ketika Lika sudah tepat di depan halaman
rumahnya, terdengar suara mobil yang mendesing dari kejauhan. Ia menoleh
kebelakang secara perlahan-lahan, dan ternyata itu merupakan mobil mamanya.
Betapa terkejutnya dia, dengan wajah yang memerah dan perasaan yang mulai tidak
enak, membuatnya ia semakin takut dengan mamanya karna perkataan yang tadi ia
ucapkan kepada mamanya.
“Lika.........”
panggilan tersebut adalah suara nyaring khas mamanya. Ia terdiam tanpa ada
suara yang keluar dari mulutnya.
Setelah
mama meletakkan mobilnya, ia turun dengan gaya kantoran yang biasa telah ia
lakukan di setiap harinya. Lika pun semakin cemas
“apa
yang akan dilakukan mamaku ini Ya Allah ?” tanyanya dalam hati
“Lika,
ngapain kamu ke pemukiman kumuh seperti ini ?” dengan suara yang meninggi
membuat tetangga sekitar berhamburan keluar. Vira hanya dapat menyaksikan
dengan raut wajah sedih.
“apa
maksud mama bicara begitu ?” sentak Lika
“Berani
bentak mama kamu sekarang. Belajar dari mana kamu. Dari perempuan ini !” sambil
menunjuk 2 orang wanita yang tidak lain adalah Vira dan Ibunya
“Kamu,
kamu apakan anak saya sehingga ia mau ke rumah mu ?” nada yang semakin meninggi
“bu,
kami memang miskin tapi kami punya harga diri. Udah cukup ibu hina permukiman
kami, jangan ibu tuduh lagi atas pencucian otak anak ibu” Ibu Vira tidak cukup
kuat menahan air mata yang telah menyelimuti pipinya.
Lika
pun tak kuat melihat ini semua, ia menggenggamkan tangannya, wajahnya pun
memerah. Dengan tegas ia mengatakan
“cukup
ma, cukup..... mereka memang gak punya apa-apa tapi mereka memiliki kasih
sayang yang luar biasa kepada Lika. Lika gak pernah butuh kekayaan, kemewahan
dan segala fasilitas yang telah mama berikan. Lika hanya butuh kasih sayang dan
perhatian mama. Cuman itu ma. Semua yang mama kasih ke Lika tidak pernah cukup
untuk membayar kasih sayang mama. Karna itulah alasan Lika, Lika pergi kesini
tanpa memberitahukan mama” Tegas Lika, ia pun
tak dapat menahan air matanya. Setetes demi setetes air matanya jatuh.
Mamapun
hanya dapat terpaku dan terdiam meratap ke bawah, tampak wajah penyesalan yang
luar biasa dari raut wajahnya. Ia mencoba menghapus air matanya. Seketika itu
juga, Lika langsung pulang dan meninggalkan mamanya yang masih berada di depan
rumah Vira.
Sesampainya
di rumah, ia langsung memasuki kamarnya dan menangis, hingga ia tidak pedulikan
lagi bibi dan paman yang menyapanya. Tak lama Lika sampai, mama menyusulnya dan
langsung menuju ke kamar Lika.
“Lika,
maafin mama. Selama ini mama tidak pernah memberikanmu kasih sayang dan
perhatian seperti yang mereka berikan” tangis mama dengan suara lembuh khas
seorang keibuan.
Lika
hanya diam, tidak memberi komentar apa-apa
“Lika,
mama janji jika kamu mau maafkan mama, mama janji untuk dapat membagi waktu
kepadamu” kata mama
Tidak
lama mama diam dari perkataannya, Lika pun akhirnya bicara
“Lika
sayang mama, Lika butuh mama” jawabnya dengan penuh perasaan sedih
“Mama
juga sayang kamu, Nak” memberikan senyuman dan memeluk Lika
“Mama
janji ya sama Lika gak bakal ngulangin perbuatan yang sama ?”tanyanya dengan
tatapan mata penuh harapan.
“oke,
mama janji” tetap memeluk Lika dan mencium keningnya
Semenjak
kejadian pilu di halaman rumah Vira, Lika dan mamanya pun kembali bersatu
dengan perjanjian mama yang dapat membagi tugas rumah dan kantornya. Kini
mereka pun bahagia
END
Identitas Diri
Nama :
Wulan Sari Puspita Ningrum
Angkatan :2013
Asal
Sekolah : SMA Negeri 2 Kota Jambi